_Malam Ramadhan terakhir, Selasa 6 Agustus 2013
Menyusuri jalanan malam abdesir di pusat kota Makassar, menuju Mesjid Wihdatul Ummah untuk melaksanakan shalat tarwih terakhir saya di sana bersama kawan setia saya yang baeeknya super baek, Lina.
Bukan kebiasaan di sana sih. Malam ini malah adalah yang pertama kalinya saya shalat tarwih di sana. Apalagi bersama kawan saya yang satu itu.
Demi sebuah urusan yang nggak satu, makanya saya rela buat berdiri shalat di sana. meskipun saya tau kalau durasinya lama baaanget! Gak nyangka mpe jam 12 malam. Huhuhu.. Malam baaanget!!
Sepulangnya, kembali menyusuri jalanan. Yang lebih gelap sembari jarum jam yang mulai merangkak. "Ini tengah malam!" Batin saya..
Melewati depan jalan Adiyaksa dan mulai naik ke jembatan yang menuju Racing centre. Di atas trotoar jembatan itulah, dari jauh saya melihatnya. Bayangan hitam yang tidak jelas awalnya, karna mata saya minus. semakin dekat dan semakin jelas. Seorang anak lelaki kecil, mungil, dan imut dengan baju kaos polos tipis super lusuhnya, beserta celana puntung kotor. Menurut mata saya yang melihat dia, sepertinya umurnya masih sangat kecil. Sekitar 8 tahunan mungkin.
Dia sedang duduk bersila di sana, wajahnya yang berdebu dan lelah. Saya fikir dia pemulung atau pengemis. Tapi semakin mendekat tatapan saya ke sana, semakin saya tau kalau anak itu sedang duduk bersama jualan buahbuahnya. Sepotong bambu panjang untuk dia menggantung jualan di punggungnya itu tergeletak begitu saja di depannya. Mungkin seharian ini dia menjajakan jualannya untuk menyambut lebaran nanti. Baju baru kah? Atau bisa jadi juga malah hanya sesuap nasi di hari raya??
Si anak sedang khusyuk. Di depannya ada bungkusan nasi yang tergeletak di trotoar itu, tampak masih ada sisasisa nasi yang belum dilahapnya. Ia ternyata sedang menghabiskan sisasisa potongan ayam gorengnya. Saat itu mata saya kembali kabur, lebih kabur dari yang tadi padahal jarak saya dan anak itu sudah sangat dekat.
"Lin, pengen nangis.." bening di mata sayalah mengaburkan pandangan. Kami. Saya dan Lina terdiam menatap si Bocah kecil itu sampai kami melewatinya tanpa menyapa.
Dengan merasai suasana yang sangat dingin malam ini saya bertanya. Di mana rumahnya? Jauh dari sini tidak? Dia sedang tersesat atau bagaimana? Mana orang tuanya? Atau dia gak punya siapasiapa dan apaapa? Kenapa semalam ini dan sedingin ini dia masih berapa di emperan jalan? Tidak ada yang mencarinya karena khawatir?
Itulah bayangan Ramadhan yang saya maksud. Anything yang mengikuti Ramadhan. Yah, ramadhan. Hanya Ramadhan. Bukan si Bocah itu. Tapi bungkusan nasi yang sedang dia makan itu. Yang sudah berhasil menyita saya. Ratusan muslim berlombalomba menyedekahkan segala hal di bulan yang berberkah ini. So pasti! Siapa yang mau ketinggalan akan pahala sedekah ini klo mereka memang mampu meraihnya?
Tapi, entah kenapa, nasi bungkus yang sedang dimakan oleh si Bocah yang membuat saya terharu, sedih, dan menginsyafi banyak hal. Melihat wajah polosnya (atau mungkin laparnya) dia yang lahap menyantap makanan 'nikmatnya' itu membuat saya terenyuh setengah mati. Entah apa yang sedang saya dan Lina rasakan dalam defenisi kami masingmasing.
Sebungkus nasi itu, yang membuat saya melihat pemandangan malam itu. Bayangan yang mengikuti Ramadhan. Kok menyedihkan ya..?
Masih ada manusia lain yang gak perlu dicari ke belahan dunia lainnya yang sedang merasai susah lebih dari susahmu, Saj..! Kali ini kamu dipaksa untuk bersyukur. Karena kamu dan dia samasama sedang disayangi oleh-Nya..!!
Apapun, kesusahan seperti bagaimanapun yang sedang kita alami sekarang sudah selayaknya menjadi cermin, supaya kita sadar akan hakikat diri kita sendiri. Ini untuk akhirat kan? Inilah yang akan menghapuskan dosa kita sedikit demi sedikit kan?
Jadi malam kemarin itu saya sadar yang begitu benarbenar sadar, kalo hidup saya bukan untuk disiasiakan oleh-Nya. Masalah ini adalah bekal bertemu dengan-Nya tidak lama lagi. Itu perhitungan dari-Nya bukan? Jadi jangan takut akan segala hal yang kau dapat sekarang. Jangan risau karena hidup mungkin tak lebih dari sehari jika dihitung dengan perhitungan akhirat. Hidup hanya sekali, maka raihlah yang abadi.
Menyusuri jalanan malam abdesir di pusat kota Makassar, menuju Mesjid Wihdatul Ummah untuk melaksanakan shalat tarwih terakhir saya di sana bersama kawan setia saya yang baeeknya super baek, Lina.
Bukan kebiasaan di sana sih. Malam ini malah adalah yang pertama kalinya saya shalat tarwih di sana. Apalagi bersama kawan saya yang satu itu.
Demi sebuah urusan yang nggak satu, makanya saya rela buat berdiri shalat di sana. meskipun saya tau kalau durasinya lama baaanget! Gak nyangka mpe jam 12 malam. Huhuhu.. Malam baaanget!!
Sepulangnya, kembali menyusuri jalanan. Yang lebih gelap sembari jarum jam yang mulai merangkak. "Ini tengah malam!" Batin saya..
Melewati depan jalan Adiyaksa dan mulai naik ke jembatan yang menuju Racing centre. Di atas trotoar jembatan itulah, dari jauh saya melihatnya. Bayangan hitam yang tidak jelas awalnya, karna mata saya minus. semakin dekat dan semakin jelas. Seorang anak lelaki kecil, mungil, dan imut dengan baju kaos polos tipis super lusuhnya, beserta celana puntung kotor. Menurut mata saya yang melihat dia, sepertinya umurnya masih sangat kecil. Sekitar 8 tahunan mungkin.
Dia sedang duduk bersila di sana, wajahnya yang berdebu dan lelah. Saya fikir dia pemulung atau pengemis. Tapi semakin mendekat tatapan saya ke sana, semakin saya tau kalau anak itu sedang duduk bersama jualan buahbuahnya. Sepotong bambu panjang untuk dia menggantung jualan di punggungnya itu tergeletak begitu saja di depannya. Mungkin seharian ini dia menjajakan jualannya untuk menyambut lebaran nanti. Baju baru kah? Atau bisa jadi juga malah hanya sesuap nasi di hari raya??
Si anak sedang khusyuk. Di depannya ada bungkusan nasi yang tergeletak di trotoar itu, tampak masih ada sisasisa nasi yang belum dilahapnya. Ia ternyata sedang menghabiskan sisasisa potongan ayam gorengnya. Saat itu mata saya kembali kabur, lebih kabur dari yang tadi padahal jarak saya dan anak itu sudah sangat dekat.
"Lin, pengen nangis.." bening di mata sayalah mengaburkan pandangan. Kami. Saya dan Lina terdiam menatap si Bocah kecil itu sampai kami melewatinya tanpa menyapa.
Dengan merasai suasana yang sangat dingin malam ini saya bertanya. Di mana rumahnya? Jauh dari sini tidak? Dia sedang tersesat atau bagaimana? Mana orang tuanya? Atau dia gak punya siapasiapa dan apaapa? Kenapa semalam ini dan sedingin ini dia masih berapa di emperan jalan? Tidak ada yang mencarinya karena khawatir?
Itulah bayangan Ramadhan yang saya maksud. Anything yang mengikuti Ramadhan. Yah, ramadhan. Hanya Ramadhan. Bukan si Bocah itu. Tapi bungkusan nasi yang sedang dia makan itu. Yang sudah berhasil menyita saya. Ratusan muslim berlombalomba menyedekahkan segala hal di bulan yang berberkah ini. So pasti! Siapa yang mau ketinggalan akan pahala sedekah ini klo mereka memang mampu meraihnya?
Tapi, entah kenapa, nasi bungkus yang sedang dimakan oleh si Bocah yang membuat saya terharu, sedih, dan menginsyafi banyak hal. Melihat wajah polosnya (atau mungkin laparnya) dia yang lahap menyantap makanan 'nikmatnya' itu membuat saya terenyuh setengah mati. Entah apa yang sedang saya dan Lina rasakan dalam defenisi kami masingmasing.
Sebungkus nasi itu, yang membuat saya melihat pemandangan malam itu. Bayangan yang mengikuti Ramadhan. Kok menyedihkan ya..?
Masih ada manusia lain yang gak perlu dicari ke belahan dunia lainnya yang sedang merasai susah lebih dari susahmu, Saj..! Kali ini kamu dipaksa untuk bersyukur. Karena kamu dan dia samasama sedang disayangi oleh-Nya..!!
Apapun, kesusahan seperti bagaimanapun yang sedang kita alami sekarang sudah selayaknya menjadi cermin, supaya kita sadar akan hakikat diri kita sendiri. Ini untuk akhirat kan? Inilah yang akan menghapuskan dosa kita sedikit demi sedikit kan?
Jadi malam kemarin itu saya sadar yang begitu benarbenar sadar, kalo hidup saya bukan untuk disiasiakan oleh-Nya. Masalah ini adalah bekal bertemu dengan-Nya tidak lama lagi. Itu perhitungan dari-Nya bukan? Jadi jangan takut akan segala hal yang kau dapat sekarang. Jangan risau karena hidup mungkin tak lebih dari sehari jika dihitung dengan perhitungan akhirat. Hidup hanya sekali, maka raihlah yang abadi.
***********************************************************************************
Berdoalah sepuasmu, karna Dia akan selalu menjawabnya..
Menjawabnya..!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar