Minggu, 24 Januari 2016

Gate of The World

Saya terinspirasi dengan tulisan ini. Meskipun sudah punya passport dan sudah menginjak 6 negara, saya belum benar-benar melihat dan memungut satu per satu pengalaman berharga yang banyak. Semoga kemudian hari saya dan kamu yang membaca ini bisa melihat lebih banyak lagi dunia di setiap sudut-sudut bumi Allah ini. Aamiin ya Robb..

"Miliki pintu duniamu sekarang, untuk kau masuki satu persatu kelak..!!"

-----------------------------------------------------------------------
PASSPORT
Oleh Rhenald Kasali

[Jawapos, 8 Agustus 2011]
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal. Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberitugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet,terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan,pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia,Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya katakan saya tidak tahu.

*Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang.* Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin. Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom. Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya. Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu. Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki LimaInternasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.

*The Next Convergence*
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport. Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara. Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi,jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri. Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing. Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka. Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat beasiswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

*Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia

**RAIHLAH ILMU, DAN UNTUK MERAIH ILMU, BELAJARLAH UNTUK TENANG, DAN SABAR.

Sabtu, 23 Januari 2016

Sadness

Masa lalu.
Sejak dulu saya gak ngerti dan tidak bisa merasakan bagaimana caranya menghibur diri dengan moment-moment bahagia di masa lalu. Karena selalunya, saya mengingat moment bahagia dari masa lalu tepat ketika saya sedang sedih berat. Dan saya masih tetap pengen mencoba menghibur diri dengan itu. Tapi yang terjadi adalah air mata yang berhasil tertahan malah berserobok keluar. Oh iya, tidak lupa hati saya berkata "masa lalu yang manis itu menyakitkan.."
Kalau mau difikir, mau saya apa? Jadi gak mau punya kenangan berbahagia?
Iya, oke saya mau lah ya.. Siapa juga yang mau hidupnya hanya penuh dengan lampu 5 watt, alias redup sepanjang masa. Hanya saja memang, bagi saya hal yang sangat menyakitkan adalah ketika saya sedang sedih lalu Beberapa moment bahagia tiba-tiba lewat di roll memory saya. Wujudnya kadang seperti short movie atau seperti power point presentase di seminar-seminar. :D
Bukan berarti wajah orang yang sedang membuat saya sedih saat ini yang berkelebat, tapi bermacam-macam wajah juga moment bahagia yang pernah saya alami, terus ter-play oleh proyektor dalam kepala saya. Serasa pake LCD gede segala lagi.
Jadi moment berbahagia memang menyenangkan bila diingat, tapi bukan disaat-saat saya sedang berkutat menahan air mata.
Karena hal yang paling saya takutkan terjadi di saat moment sedih saya adalah jatuhnya air mata. Di depan manusia-manusia yang saya sayangi dan didepan mereka yang menyayangi saya, juga berusaha susah payah membantu saya meraih kebahagiaan saya. Orangtua, juga saudara-saudara saya dan sahabat.
Bagi saya, menangis di depan mereka seperti sebuah pukulan kejam. Bayangkan, bila orangtua yang banyak mengorbankan ini itu untuk kebahagiaan kita, bagaikan terhempas tiada arti oleh sikap orang lain yang dengan mudahnya membuat air mata kita ngucur. Maka antisipasi paling sukses yang selalu saya tempuh adalah mengebalkan hati ketika berurusan dengan manusia-manusia kurang penting yang mana dia juga meng-kurang penting-kan perasaan kita.
Saya terbiasa tinggal misah dari orang tua, sejak kecil.
Seingat saya, waktu saya masih belum sekolah bahkan mungkin masih balita, saya sudah ditinggal sama ummi saya karena tugas PTT dokternya di kabupaten Soppeng. Saya tidak ingat pastinya berapa bulan. Saya juga lebih tidak ingat apa saja yang mebuat saya sedih. Haha, secara saya masih kecil. Paling berante sama kakak. Hee..
Tapi yang pasti tidak hanya sampai disitu.
Saya juga pernah berpisah lagi dari orangtua saya. Kali ini saya benar-benar misah karena saya dititip di rumah keluarga saya yang masih terbilang kakek jauh saya, beberapa bulan karena sebuah alasan penting (cieelaah). Tidak ada ummi tidak ada aba. Saya masih ingat, istri kakek saya itu sering emosian dan kebetulan saya buat kesalahan yang sekarang saya sudah lupa kesalahan fatal apa yang saya perbuat sampe-sampe istri kakek saya itu melipat semua jari tangan kanan saya sampe bunyi. Istilahx terpeletuk gitu lah.
Saya kalo ingat moment ini malah pengen ketawa. Karena entah siapa yang ajarin saya dulu, saya suka banget peletukin jari-jari tangan saya. Tapi ummi selalu negur karena gak bagus buat persendian tulang, apalagi saya masih kecil waktu itu. Masih SD. Makanya pas dihukum kayak itu rasanya malah seperti dikasih mainan baru. Hehe.
Tapi setelah kejadian itu saya masuk kamar mikir,"saya ini kan dihukum tadi.."
Jadinya tiba-tiba saya sadar kondisi dan jadi sedih. Aneh, tapi ya memang dasar anak kecil labil dan belum jelas. Saya cuma mikir, alhamdulillah saat itu tidak ada orangtua saya, kan bisa sedih mereka liat tangan anaknya digituin, meskipun yaa saya fine aja. Tapi sekarang saya juga mikir, kalo disitu ada ortu saya, malah tangan saya gak mungkin digituin. Haha
Oke, trus lanjut masa SMP dan dua tahun di masa SMA saya, semuanya saya jalani di pondok. Bener-bener minim campur tangan orang tua tuh. Tapi dipondok saya mengenal lagi sosok-sosok penuh kasih sayang dan perhatian. Mereka namanya sahabat.
Kali ini biasanya dari merekalah saya menghindarkan air mata. Dan kali ini gak tau juga kenapa harus begitu. Biasanya kan kalo sama sahabat yaa.. susah seneng, ketawa nangisnya bareng-bareng. Tapi saya masih juga suka menghindar dari tatapan mereka kalo lagi sedih. Karna ya seperti itu, tatapan mereka malah buat pertahanan jebol padahal visi-misi saya kalo sedih itu cuma "forget it. Itu semua gak ada, jadi jangan sampe nangis. Gak perlu". Mudah-mudah sulit juga. Tapi hanya seperti itu lah formula yang saya pakai. Itu selalu berhasil untuk kasus yang no curhat, no baper, and no special.
Jadi, kesedihan mendalam justru pengen saya habiskan sendirian. Itu lebih cepat mereda ketimbang beradu mata sama orang yang saya sayang, apalagi setelah itu episodenya jadi panjang karena plus sesi tanya jawab.
Saya mau nostalgia sedikit. Saya pernah punya masalah sama tiga sahabat saya sekaligus. Sodara di pondok gitu. Bertengkar dengan tiga gaya deh pokoknya. Karena mereka bertiga bukan sedang bersatu bertengkarin saya. Tapi tiga-tiganya beda soal. Bayangkan saja. Sampe setress juga. Pengen teriak di pantai kejauhan. Mau curhat bingung, tiga-tiganya tempat curhat saya. Lagi-lagi saya pilih menepi buat me-time. Trus waktu itu saya malah naik angkot ke unhas, habis ashar itu. Mobilx masuk dalam kampus, lewatin lapangan basket, workshop, fakultas teknik, trus ke depan pasca, fkm, kedokteran sampe hampir balik lagi ke depan kampus, tapi saya berhenti setelah fakultas sastra. Disana ada gedung yang kayaknya sepi dan di depannya ada meja-kursi jamur gitu. Sepertinya emang biasanya tempat nongkrong mahasiswa kali. Dan saya duduk disana, buka notebook trus nulis. Agak lama habis itu saya pulang. Belakangan saya tau, kalo sore tempat itu memang sepi karena gak ada yang berani nongkrong lagi disana. Katanya angker, mana berhubung lokasi situ memang mepetan sama rumah sakit wahidin. Jadi auranya serem-serem gimanaa gitu. Haha.
Emang yah saya itu selalu aja gak mengikuti kebiasaan peng-angker-an. Orang kata-katain angker, saya malah mojokan disana. Haha.. sory.
Kagak sengaja. :D

"Kesedihan terkadang langsung membawa insting kita untuk menulis. Cenderung ingin sekedar meluap atau bahkan memaki. Lalu perasaan itu habis bgtu saja setelah titik.
Tapi ketika berbahagia malah kadang kita lupa untuk menulis. Karena setiap detiknya terlalu berharga untuk kita habiskan dulu, lalu kemudian ditulis. Dan kebahagiaan tidak begitu saja habis setelah titik."

Alhamdulillah

Sabtu, 16 Januari 2016

Corridor

Karena kita manusia sedang berderet dalam antrian menuju satu pintu yang pasti.. itulah kematian.
Maka lapangkanlah dada2 itu kawan.
Kita tak tau kapan

Senin, 11 Januari 2016

Destiny

Ada suatu saat, atau suatu hal yang sangat saya cintai. Begitu cintanya sampai rasanya akan melakukan semuanya demi beberapa hal itu, tidak peduli apa.

Senin, 04 Januari 2016

Brain Complex

Ada sebuah moment hari ini yang membuat saya setengah menangis dan setengah tertawa.
Saya sedang berada di bawah langit yang terkadang meriah dengan desing pesawat. Sore ini, entah pukul berapa.

Sabtu, 02 Januari 2016

Began to Fly

Sepasang sayap belia mengepak bebas diantara awan
Terkadang menebas hujan atau sekawan angin sore
Atau di suatu pagi