Seperti
wanita pada umumnya, memasak adalah pekerjaan yang harus ia
perankan
(di-peran-kan) bagi yang merasa wanita yang 'baik-baik aja'.
Begitulah memasak nasi sudah menjadi pekerjaan wajib. Ya iyalah yaa..
nasi udah jadi makanan pokok warga negara ini.
Pagi
ini, seperti biasa
sunyi dan (hampir) ngebosanin. Iya juga sih,
mungkin karna belakangan ini saya sedikit sensitif dan sedikit (juga)
terlibat perdebatan dengan teman.
Pertama-tama,
setelah beberapa rutinitas wajib sebangun tidur, memasak nasi juga
gak kalah wajibnya di setiap pagi-pagi saya.
Mengambil
wadah, mengisinya dengan beberapa takaran beras, membawanya ke depan
keran. Membilas, beberapa kali.
Pagi
itu saya agak sedikit kacau dari pagi yang sebelum-sebelumnya.
Perdebatan saya dengan kawan saya kemarennya ini ngebuat saya
keuh-keuh sendiri. Rasanya tiap memikirkan permasalahan-bersama kita
ini, di hati tuh kaya ada yang nyelekit gangguin seganggu-ganggunya.
Mana kali ini untuk keberapa kalinya saya ngerasa kalo temen saya ini
orangnya keras kepala banget, susah banget ngertiin saya, dan yang
terpenting, saya selalu saja jatoh pada kesalahfahaman dia yang
saangat sulit saya luruskan. Oya, plus dia adalah partner debat yang
paling selalu menang dari saya! Rasanya, berkali-kali saya seperti
gak bisa ngelakukan apa-apa kalo kita sudah bertengkar. Saya mau
ngebalas, suasana dijamin tambah suram, saya diem aja rasanya saya
bodoh banget. Pokoknya, memulai perselisihan dengan dia akan membuat
saya pada akhirnya memiliki pagi yang kurang baik. Termasuk untuk
setiap aktifitas pagi yang saya lakukan pastinya berakhir dengan
hasil yang buat saya sendiripun mengernyitkan dahi dalem-dalem.
Dan!
Dan seperti yang saya bilang baru saja. Beras yang tadi saya cuci
tidak bergerak sama sekali. Hanya terus teremdam dengan rendamannya
yang putih keruh. Tiba-tiba saya berfikir buat nyuci tuh beras sampe
gak bersisa dengan air yang kerus seperti itu. Gobloknya lagi, antara
masih lalod di pagi hari atau memang sesuatu, saya berfikir kalo
beras ini saya bilas dengan baik, dengan 'sungguh-sungguh',
berkali-kali, maka air bilasannya nanti akan menjadi bening. Dan
seperti itulah yang berarti si berasnya udah benar-benar bersih dan
baik. Padahal yah, sejak kecil tuh saya udah dibilangin klo cuci
beras tuh bilasnya 2 kali sampe 3 kali aja, supaya kandungan
vitaminnya gak larut semua dalam bilasan air yg nantinya bakal
dibuang. Tapi pagi itu saya lagi aneh yah. Fikiran saya adalah
membilas beras itu sampe airnya bening, seakan-akan saya sedang
merasa menghapus sesuatu dalam hati temen saya tadi supaya tidak ada
lagi masalah, layaknya menghapus tulisan-tulisan di papan tulis
sekolah dulu.
Lima..
Enam.. Tujuh.. Sampe sepuluh kali (mungkin) saya membilas beras dalam
wadah itu tapi tidak bening juga. Yang ada, saya lihat biji-biji
beras itu jadi hancur sedikit demi sedikit karna saya ngebilasnya
terlalu semangat kali yah ^^
“haduh!
Mau diapakan nih, ntar jadinya nasi apa bukan yah?” sambil menghela
nafas. Satu lagi pekerjaan pagi yang gak beres kaaan..? karna saya
rasanya masih mau maen aer, selang dari keran saya alirkan ke wadah
beras tadi. Lama, wadahnya penuh saya gak peduli. Saya isi bahkan
sampe airnya tumpah keluar, meluap dari wadah yang ukurannya hanya
sebesar panci itu. Saya perhatiin lamat-lamat, air keruh dari beras
itu ikutan meluap sedangkan beras di dalamnya tetap tenang di dasar
wadah. Tidak sampe semenit, wadah itu dipenuhi dengan air yang
sekarang sudah menjadi bening dengan biji-biji beras pada dasarnya.
Beras-beras yang gak sampe seliter, yang tadinya sudah saya cuci dan
bilas dengan sungguh-sungguh, yang karena saking sungguh-sungguhnya
sekarang sudah hampir berbentuk pasir pantai. Putih dan kecil. Iya,
beras pada dasar wadah itu terlihat dari mata saya. Tidak lagi
tertutup dengan air yang putih keruh seperti tadinya. Itu hanya
gegaranya saya mengisi wadah itu dengan air terus-terusan tanpa
ampun. Bukan karna saya membilas berasnya sampe bersih.
CLING!!
Saya
mendapat inspirasi dan kesimpulan untuk masalah saya.
Cepat-cepat
saya selesaikan prosesi mencuci beras yang lama sangat itu.
Menakarnya ulang dengan air secukupnya lalu saya tanak dalam rice
cooker. Beres.
Saya
masuk ke kamar dan duduk berfikir tentang kejadian cuci beras tadi.
Satu
kesimpulan.
Beras
itu anggap aja hati manusia, saya gak perlu memaksakan hati orang
lain untuk menjadi lebih baik dari yang saya harapkan. Karna hal itu
sulit dan bahkan mungkin gak akan bisa terjadi. Perselisihan antara
kita dengan saudara kita bahkan sudah menjadi lumrah dan teranggap
sebagai bagian dari persaudaraan itu sendiri. Ketika masalah datang,
ketika hati kita berbeda dengan mereka, ketika keinginan kita tidak
tergambar jelas dalam benak mereka, ketika hati orang lain rasanya
menjadi satu-satunya titik berat masalah padahal ada perkataan yang
berkata bahwa dua orang sahabat itu adalah satu hati yang ditempatkan
pada tubuh yang berbeda. Iyah, ketika orang lainlah yang rasanya
selalu menjadi kunci masalah ini, yang “pokoknya dia yang harus
begini” “pokoknya dia yang harus berubah” dan
“pokoknya-pokoknya” yang lain yang harus dipenuhi oleh saudara
kita, ketika itu..
Ketika
itu sebenarnya kita yang harus bergerak untuk,, untuk mengalah.
Memutuskan
untuk memberi pemisah antara kita. Diri kita dan saudara kita dari
sebuah perselisihan dan keegoisan. Mengalah dan memberi kebaikan juga
keikhlasan adalah solusi. Dan selalu menjadi solusi tepat namun
menyusahkan. Tapi bagi yang merasa ukhuwah ini lebih berharga dari
sekedar perasaan pribadi, mereka seharusnya menarik kesimpulan saya
sebagai jalan keluar paling simple untuk dia. (hehe,maksa :D)
Dan,
sekarang adalah saatnya menuangkan air banyak-banyak ke dalam wadah
kepala, hati dan ruang antara kita dengan saudara kita, agar setiap
biji-biji permasalahan dan kesalah fahaman yang membuat keruhnya hati
dan fikiran ini menjadi jelas kembali. Bening kembali.
Kalau
bukan dirimu yang pertama kali berfikir untuk mengalah dan memberi
bening sejuknya sebuah kebaikan, lalu siapa?
*flashback*
Dan, sekarang saatnya sarapan. Ummi ngebuka ricecookernya agak
sedikit bingung, “kok nasinya kaya' bubur, Jid?”
Oopps^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar